CERITA DEWASA MENJUAL DIRI PENARI JALANAN MANIS

CERITA DEWASA MENJUAL DIRI PENARI JALANAN MANIS


CERITA DEWASA MENJUAL DIRI PENARI JALANAN MANIS , Hasrat-Bispak50 Seluruh orang didalamnya harus berusaha dan berkorban agar tak tergusur, serta tidak semuanya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, namun orang tidak banyak yang kenal nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, namun maknanya tidak cuman itu. Denok pun bermakna montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Waktu kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak hanya satu Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang tidak berpunya. Mulai sejak kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda yaitu seseorang penari, serta seringkali ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti saat satu hari saya serta Simbok temukan Bapak menggantung diri. Nyatanya Bapak punyai banyak hutang lantaran hilang ingatan judi, serta beliau tak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang berduka karena Bapak tidak ada, namun juga kebingungan lantaran beberapa waktu sesudah Bapak dikebumikan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil alih broker judi yang memberikan hutang ke Bapak. Kami tidak miliki tujuan, serta uang simpanan kami tidak berapa. Simbok selanjutnya ngotot membawa saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan.


"Denok, kita tidak dapat apapun kembali di sini, di kota kita bisa mencoba mencari uang, semoga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya hanya alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama tidak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, tidak diterima karena dipandang pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang tidak perlu ijazah, lawan sangat banyak. Pada akhirnya sehabis cukuplah lama mengamati bermacam peluang yang ada, Simbok memastikan untuk memakai keterampilan kami. Hanya modal kemeja serta perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa dan kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota sedang bersiap ujian akhir SMA atau melalui tahun mula kuliah, serta yang di kampung menanti dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan anyar, menawarkan keterampilan seni tari bersama Simbok. Awalannya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat mendapatkan sekian lembar rupiah untuk bertahan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mengevaluasi jalanan Ibu-kota untuk cari beberapa orang yang ingin kami hibur dengan tarian kami. Nyatanya tidak mudah pun cari uang melalui cara sebagai berikut, paling-paling yang kami temukan cukup hanya untuk makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Dan gak di seluruh tempat kami dapat mendapatkan pirsawan yang mau bayar, kadang kami malahan ditendang atau dihardik. Sesudah lumayan lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pirsawan dan uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekelilingnya. Kami lantas sewa satu kamar sewaan murah di dekat Pasar. Beberapa orang di Pasar, asal dari golongan menengah ke bawah, haus kesenangan murah yang dapat membuat mereka ingat daerah masing-masing. Datangnya kami di situ terus disongsong senyuman, tawa, serta helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Kendati kerapkali helai-lembar itu dikasihkan ke kami oleh kurang santun semisalnya dengan diselinapkan ke kemeja kami. Apa saya dan Simbok benar-benar merayu? Entahlah ya. Saya sendiri tidak berasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Namun Simbok pun sejak dahulu selalu mengarahkan dan mengingati saya buat menjaga badan walau dengan simple, jadi kendati sawo masak, kulit saya masih tetap mulus dan tak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho. WAJIB 4D


Oh iya, barusan kan saya udah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipikirkan betul pun sich kalaupun di katakan saya montok. Tak tahu mengapa, walau rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap tubuh saya dapat saja ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, serta saat ini jadi subur gumebyur hingga saya selalu takut dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pula cepat karena dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja bila ada yang kira demikian. Terherannya, walau atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut dan pinggang saya masih singset. Saya kira masih singset masalahnya kelihatannya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu benar-benar elok. Hingga sampai usia begitu lantas beliau masih elok. cerpensex.com Apa lagi jika sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruh orang nengok dan gak tonton apapun kembali. Saya sendiri selalu terasa tidak baik lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, namun sedunia hanya saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Kecuali Simbok, beberapa orang yang umum menonton kami menari kok segalanya ngomong saya elok. Saya pikirkan, itu sich pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu pertamanya kali didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, hingga sampai berbeda warna dengan tubuh. Barangkali tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang tidak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat lebih tebal. Bibir  diberi gincu warna merah keren. Saya kala itu ngeluh,


"Kok udah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Harus kinclong, manglingi. Kita harus membikin puas yang melihat."


Semakin lama saya biasa  memanfaatkan dandanan semacam itu, jadi saya buat jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari tercipta penganten, nanti jika nikah betulan perlu kayak apakah diriasnya?" Dandan paras yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, dan selendang. 


Namun memang yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang mengetahui. 2 bulan kami tinggal di dekat Pasar, bencana tiba kembali. Waktu sedang nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cedera kronis. Saya was-was, beberapa orang di kitaran beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terselamatkan. Simbok wafat di rumah sakit selesai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter di situ. Sebetulnya mulai sejak ketabrak pula Simbok telah tidak ada keinginan, namun entahlah mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya hingga sampai sepanjang hari. Hingga gak sampai hati saya menyaksikannya. Kala itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, sebab itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Namun apa itu betul atau gak, saya tak ingin tahu, biarkan itu dapat menjadi rahasia Simbok. Saya pada akhirnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis buat mbayar rumah sakit serta penguburan, jadi harus berutang kemanapun. Saya tidak dapat menggelar acara jenis-jenis buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana serta berjumpa kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewa saja lantaran sangat bersusah-hati. Barangkali tiap hari saya menangis, bersedih ingat Simbok, pun kesepian. Selanjutnya saya memaksakan diri untuk keluar kembali, ngamen kembali, karena uang udah habis dan saya pun perlu menghadapi beberapa tukang tagih hutang yang tidak mau tahu kepelikan saya . Sehingga, satu minggu setelah Simbok dikebumikan, saya kembali bersiap untuk keluar, menari. Di depan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul dan kembang, saya bedaki muka saya agar gak terlihat beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben dan kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, sesuai keluar kamar saya malahan berjumpa dengan ibu yang mempunyai sewa. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya tidak miliki uang, jadi saya cuman dapat omong maaf, dan sang ibu jadi ngancam secara lembut. Tidak apapun gak bayar, tukasnya, namun esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok tidak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya ingin usaha dahulu, kata saya, kelak akan saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.


CERITA DEWASA MENJUAL DIRI PENARI JALANAN MANIS


Apesnya, hari itu pasar rada sepi, serta selepas dua jam saya anyar bisa Rp5000 sehabis menari di pangkalan ojek. Saya gak dapat fokus, kepala banyak ingatan, bagaimana metodenya biar kelak bila pulang telah mempunyai cukup uang buat bayar kontrak. Belum hutang-hutang yang lain. Mendekati siang, saya sedang jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya lihat Juragan lagi mengalkulasi segepok uang. Beliau barusan terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya saat itu sekedar mengenal beliau sebagai ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua dibanding Simbok, kemungkinan umurnya udah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali kedua kalinya saya serta Simbok pernah menari di muka tokonya, serta pegawai-pegawainya berikan kami uang namun beliau tidak. Namun beliau pernah pinjamkan uang ke Simbok, serta Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta ada di belakang. Tokonya lagi sepi, tak ada konsumen.


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya harus katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis untuk cost penyemayaman Simbok… saat ini saya harus bayar sewa dua bulan…" WAJIB 4D


"Hah?" Juragan lihat saya dengan aneh, "Kamu perlu uang?"


"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya telah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji akan balikkan selekas mungkin."


Eh, kok Juragan langsung kantongi segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang memberi hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini  kembali kerja, Juragan," saya geram namun tidak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak mau pinjamkan uang. "Cuman ngerinya saya tidak dapat dapat uang ini hari buat membayar kontrak. Kalaupun berjualan, saya nggak mempunyai apapun, perlu jual apa?"


Namun selanjutnya tatapan Juragan kok berganti jadi aneh… Beliau dekati saya serta memeluk saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa yang omong kamu tidak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya ingin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan selalu terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya mengandaikan apa artinya itu.


"Jika kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar untuk bulan depannya," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya harus bagaimana? Saya butuh uang, namun apa perlu lewat cara seperti berikut? Tetapi bila gak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama pula. Saya tidak mempunyai alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga gak terdengaran. Jika saja tidak ketutupan bedak, barangkali telah nampak muka saya berbeda merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga sampai terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak miliki istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya selalu melihati lantai, tak berani membawa kepala, namun adakalanya saya ngintip ke sana-kemari lihat kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada photo tua yang perlihatkan Juragan dengan seorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, memperhatikan sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sekalian ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, tonton saya." Saya nurut. Kemungkinan ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ucapnya.


Ia letakkan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, memandang uang itu. Besar sekali untuk saya. Kebanyakan sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sejumlah itu. Tetapi saya selalu kuatir. Juragan mendadak pengin ambil kembali uang itu.


"Bila tak ingin ya udah," tuturnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Serasi tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum menyaksikan saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Buat orang hasrat ajah…" saya tonton Juragan nyengir lebar sehabis bicara itu. sumpah, baru kesempatan ini ada lelaki buka-bukaan ngaku sesuai itu.


Helai uang lima puluh ribu tadi ditempatkan Juragan di samping saya ia mengambil, lipat, lalu ia imbuhkan ke… aduh! Ia imbuhkan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, gak yakin rasanya. Awalnya saya dan Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat mendapat duit kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat uang sejumlah itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka semua," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan sukai dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang katakan itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben masih ditahan tangan saya, dan kainnya melaju demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa peroleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka  kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena kemungkinan barusan saya malu serta lamban satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya serta menyibak kain batik saya. Saya seketika mundur, namun tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Tidak boleh takut, Denok…" ucapnya.


Juragan pun menggenggam paha saya yang sejumlah tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu lantaran sentuhan Juragan. Tangannya selanjutnya nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bergesekan dengan kulit paha saya, serta saya semakin deg-degan. Ia selalu remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya lagi nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, sedang diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, hingga paha saya telah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!


"Rebah saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya selalu nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang belum saya lepas (apa harusnya saya lepas pun?) ngganjal belakang kepala saya. Serta sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membentang di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, namun gak tahu mengapa, saya pula kok rasa nafsu saya bangun? Aduh? Kok berikut jadi? Juragan tak henti lihat sekujur badan saya, sekalian beri pujian.


"Marilah donk, gak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu pengin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan dimasukkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… ingin pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama